Beranda Menggugat Aktivis dan Aktivisme: Sebuah Refleksi

Menggugat Aktivis dan Aktivisme: Sebuah Refleksi

Oleh, admin
4 bulan yang lalu - waktu baca 3 menit
Ilustrasi aktivis (foto: internet)

Oleh: Randy Alfiansyah*

Aktivisme, dalam sejarahnya, telah menjadi motor penggerak perubahan sosial, politik, dan ekonomi di berbagai belahan dunia.

Di Indonesia, aktivisme memiliki peran penting dalam berbagai momentum sejarah, mulai dari pergerakan kemerdekaan hingga reformasi 1998.

Aktivis adalah sosok-sosok yang mendedikasikan hidupnya untuk memperjuangkan keadilan dan memperbaiki kondisi masyarakat.

Namun, seiring berjalannya waktu, muncul berbagai kritik dan pertanyaan mengenai relevansi dan efektivitas aktivisme, terutama di era digital dan globalisasi saat ini.

Menggugat aktivis dan aktivisme tidaklah berarti menafikan peran historisnya, melainkan sebagai upaya untuk merefleksikan perubahan lanskap sosial yang mempengaruhi gerakan tersebut.

Aktivisme dan Romantisme Masa Lalu

Di masa lalu, aktivis sering digambarkan sebagai tokoh yang berani, radikal, dan siap berkorban.

Mereka identik dengan perlawanan terhadap ketidakadilan struktural yang tertanam dalam sistem politik dan ekonomi.

Gerakan seperti perlawanan terhadap Orde Baru di Indonesia, perlawanan terhadap apartheid di Afrika Selatan, hingga gerakan hak-hak sipil di Amerika Serikat menjadi contoh klasik bagaimana aktivisme mampu meruntuhkan sistem yang menindas.

Romantisme terhadap aktivisme masa lalu ini seringkali dilandasi oleh narasi heroisme dan pengorbanan.

Para aktivis masa itu dianggap sebagai simbol idealisme tanpa kompromi.

Namun, romantisme ini juga menghadirkan dilema ketika kita menghadapi tantangan kontemporer yang lebih kompleks.

Apakah idealisme yang sama masih relevan? Bagaimana dengan strategi perjuangan di tengah dunia yang didominasi oleh teknologi, disinformasi, dan kapitalisme digital?

Aktivisme di Era Digital: Antara Aksi dan Performa

Di era digital, aktivisme telah mengalami transformasi besar. Aksi turun ke jalan, meskipun masih terjadi, kini sering kali digantikan oleh kampanye di media sosial.

Tagar, petisi online, dan viralitas menjadi alat utama dalam memobilisasi dukungan.

Fenomena ini memberikan peluang besar bagi aktivisme untuk menjangkau audiens yang lebih luas dalam waktu singkat.

Namun, aktivisme digital juga menghadirkan masalah baru: performativitas.

Banyak kampanye yang viral di media sosial cenderung berfokus pada estetika visual, narasi emosional, atau tren sesaat, tanpa menawarkan solusi nyata.

Aktivisme menjadi lebih terfragmentasi dan sering kali berorientasi pada citra dan pengakuan.

Fenomena ini dikenal sebagai "slacktivism," di mana orang merasa telah berpartisipasi dalam perubahan sosial hanya dengan berbagi postingan atau menandatangani petisi tanpa terlibat langsung dalam aksi nyata.

Aktivis dan Politik Identitas

Selain itu, aktivisme kontemporer juga tak luput dari kritik terkait politik identitas.

Banyak gerakan sosial saat ini berfokus pada isu-isu berbasis identitas seperti ras, gender, dan orientasi seksual.

Di satu sisi, ini adalah perkembangan positif karena memberikan suara pada kelompok-kelompok yang selama ini termarjinalkan.

Namun, di sisi lain, beberapa kritik menyatakan bahwa politik identitas bisa memecah belah gerakan sosial yang lebih luas dan mengalihkan perhatian dari isu-isu struktural yang lebih mendasar seperti ketimpangan ekonomi dan eksploitasi kapitalis.

Aktivisme Sebagai Karier

Perubahan lain yang patut digugat adalah profesionalisasi aktivisme. Semakin banyak aktivis yang bekerja di lembaga swadaya masyarakat (LSM) atau organisasi internasional dengan bayaran yang layak.

Meskipun profesionalisasi ini membawa keahlian dan sumber daya yang dibutuhkan, muncul kritik bahwa hal ini juga bisa menurunkan radikalisme dan independensi aktivisme itu sendiri.

Ketika aktivisme menjadi "karier," ada kekhawatiran bahwa dorongan untuk mempertahankan pekerjaan atau mendapatkan pendanaan dapat mengkompromikan nilai-nilai yang diperjuangkan.

Menggugat Kembali: Apa yang Harus Dilakukan?

Menggugat aktivis dan aktivisme bukanlah upaya untuk menolak atau mengerdilkan perjuangan yang ada, tetapi lebih kepada ajakan untuk melakukan refleksi kritis.

Pertama, perlu ada pemahaman bahwa tantangan yang dihadapi aktivisme kontemporer sangat berbeda dari masa lalu.

Kompleksitas masalah yang dihadapi menuntut pendekatan yang lebih canggih dan terkoordinasi.

Kedua, aktivisme harus kembali pada esensi dasarnya: memperjuangkan perubahan yang nyata dan berkelanjutan.

Aktivisme tidak boleh hanya menjadi aksi simbolis atau performatif, tetapi harus didasarkan pada analisis mendalam, strategi yang efektif, dan solidaritas yang kuat.

Terakhir, penting untuk menjaga keseimbangan antara idealisme dan pragmatisme.

Aktivisme yang berhasil adalah yang mampu menavigasi antara idealisme yang teguh dengan strategi praktis yang relevan di tengah kondisi sosial-politik yang ada.

Aktivis dan aktivisme tetap menjadi bagian penting dalam upaya perubahan sosial.

Namun, dalam menggugat peran dan efektivitasnya di era kontemporer, kita diajak untuk merenung lebih dalam tentang apa yang perlu diperbaiki dan bagaimana kita bisa beradaptasi dengan tantangan zaman.

Transformasi dunia membutuhkan gerakan yang bukan hanya berani dan vokal, tetapi juga cerdas dan strategis. (*)

 

*Penulis adalah warga biasa. Tinggal di Jakarta.

Rekomendasi

0 Komentar

Anda belum bisa berkomentar, Harap masuk terlebih dahulu.