Rawink Rantik: Minimnya Paslon di Pilkada Garut, Berisiko Melemahkan Kualitas Demokrasi
Ruang Rakyat Garut — Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Garut yang hanya diikuti oleh dua pasangan calon (paslon) menimbulkan sejumlah kritik dari berbagai pihak.
Pengamat politik lokal, Rawink Rantik, menilai bahwa kondisi ini dapat berisiko mereduksi kualitas demokrasi dan mempersempit ruang representasi politik masyarakat.
Menurut Rawink, ada beberapa poin penting yang perlu diperhatikan dalam melihat fenomena ini, yang bisa berdampak pada keberlangsungan demokrasi di Garut.
Minimnya Pilihan Bagi Pemilih
“Ketika hanya ada dua pasangan calon, tentu pilihan bagi masyarakat menjadi sangat terbatas,” ujar pria yang akrab disapa Awink ini, Selasa, (10/9/2024).
Ia menjelaskan, dalam situasi seperti ini, banyak pemilih yang mungkin merasa tidak memiliki pilihan yang benar-benar mewakili aspirasi mereka.
"Alih-alih memilih calon yang dianggap terbaik, pemilih bisa terjebak pada situasi memilih 'yang paling sedikit buruk'. Ini bukan kondisi ideal dalam demokrasi yang sehat," tegasnya.
Kurangnya Representasi Politik
Awink juga menyoroti masalah representasi politik. Menurutnya, keterlibatan hanya dua paslon berpotensi mengakibatkan kurangnya variasi dalam pandangan dan kebijakan yang ditawarkan kepada masyarakat.
“Kita tahu bahwa Garut adalah wilayah yang heterogen, dengan beragam kepentingan dan kebutuhan. Hanya dua paslon yang bertarung berarti kemungkinan besar hanya dua kekuatan politik besar yang terwakili. Ada banyak kelompok masyarakat yang tidak akan mendapatkan suara mereka didengar,” jelasnya.
Risiko Politik Uang dan Oligarki
Kontestasi yang minim paslon, lanjut Awink, juga berpotensi memperburuk praktik politik uang dan memperkuat dominasi oligarki politik.
“Dengan hanya dua paslon, biaya kampanye mungkin terpusat lebih besar dan bisa membuka peluang politik uang. Jika tidak diatur dengan baik, ini bisa merusak integritas Pilkada dan pada akhirnya memperkuat pengaruh segelintir elit yang berkuasa,” katanya.
Awink menambahkan, oligarki politik di tingkat daerah sering kali berkolaborasi dengan aktor-aktor ekonomi yang memiliki kepentingan besar dalam kebijakan pemerintah, sehingga kontestasi semacam ini dapat merusak prinsip demokrasi yang seharusnya inklusif.
Melemahnya Persaingan Ide dan Program
Pengamat politik tersebut juga mengkritisi lemahnya persaingan gagasan dalam Pilkada yang hanya diikuti dua paslon.
“Kita sering melihat bahwa dengan sedikitnya paslon, debat publik cenderung kurang substantif. Fokus kampanye lebih sering pada isu personal ketimbang pada gagasan atau program yang inovatif untuk membangun daerah,” tutur Awink.
Ia mengingatkan bahwa minimnya variasi gagasan bisa menghambat terciptanya kebijakan yang responsif terhadap kebutuhan masyarakat.
Polarisasi Politik yang Tinggi
Kontestasi dua paslon juga dinilai bisa memperparah polarisasi politik di Garut.
"Masyarakat bisa terpecah menjadi dua kubu yang saling berlawanan. Ini tentu tidak baik bagi kohesi sosial di Garut, terlebih jika kampanye dibumbui dengan retorika yang menyerang dan negatif," ujarnya.
Demokrasi yang Terlihat Semu
Awink menyebut, dengan terbatasnya paslon, proses Pilkada bisa menjadi sekadar formalitas demokrasi.
"Demokrasi itu bukan hanya soal prosedur, tetapi juga harus substansial, memberikan masyarakat pilihan yang benar-benar mencerminkan keragaman aspirasi. Jika pilihan terlalu sedikit, masyarakat bisa merasa apatis dan suara mereka dianggap tidak terlalu penting," katanya.
Potensi Dominasi Satu Kubu
Terakhir, Awink memperingatkan risiko dominasi satu kubu politik. “Jika hanya ada dua paslon, ada risiko bahwa satu kubu bisa menguasai politik lokal tanpa ada tantangan berarti. Ini bisa menyebabkan stagnasi dalam pemerintahan dan menghambat inovasi kebijakan,” tuturnya.
Pentingnya Kontestasi yang Lebih Kompetitif
Sebagai solusi, Awink mendorong agar ke depan, partisipasi politik dalam Pilkada bisa lebih terbuka dan inklusif.
“Kita perlu memastikan bahwa kontestasi politik di Garut lebih kompetitif dan merepresentasikan keragaman aspirasi masyarakat. Dengan begitu, demokrasi tidak hanya menjadi prosedural, tetapi juga substansial,” tutup Awink.
Kontestasi Pilkada dengan hanya dua paslon memang menimbulkan banyak pertanyaan tentang masa depan demokrasi di daerah.
Penguatan partisipasi politik dan keberagaman representasi diharapkan bisa menjadi langkah ke depan agar masyarakat merasa lebih terwakili dalam proses demokrasi yang berlangsung. (*)
0 Komentar
Anda belum bisa berkomentar, Harap masuk terlebih dahulu.