Beranda Transisi Politik Garut: Menakar Netralitas ASN di Daerah

Transisi Politik Garut: Menakar Netralitas ASN di Daerah

Oleh, admin
1 hari yang lalu - waktu baca 2 menit
Oleh: Asep Nurjaman, aktivis sosial/Kepala Satuan Unit Watch Relation of Corruption (WRC) Garut. (Ruangrakyatgarut.com)

Ruangrakyatgarut.com - Politik dan birokrasi di Kabupaten Garut, seperti di banyak daerah lain di Indonesia, adalah dua aspek yang tidak terpisahkan dalam sistem pemerintahan.

Sebagai daerah yang baru saja melaksanakan pilkada serentak, Garut kini memiliki bupati terpilih yang baru, membawa visi dan program kerja yang berupaya menjawab kebutuhan masyarakat.

Namun, hubungan antara kekuasaan politik dan birokrasi sering kali menghadirkan persoalan pelik, terutama terkait netralitas Aparatur Sipil Negara (ASN).

Pasca-reformasi 1998, desentralisasi memberi otonomi lebih besar kepada pemerintah daerah. Pilkada langsung memperkuat keterlibatan masyarakat dalam memilih kepala daerah.

Namun, desentralisasi juga membuka ruang bagi intervensi politik terhadap birokrasi. ASN di Garut, seperti di daerah lain, sering menghadapi dilema ketika berhadapan dengan pejabat politik yang membawa agenda tertentu.

Interaksi ini tak jarang melahirkan pola hubungan patron-klien, di mana pejabat politik memberikan perlindungan kepada birokrat yang loyal, sementara birokrat mendukung penguasa demi menjaga posisi dan keamanan karier mereka.

Politisasi birokrasi semacam ini berdampak buruk pada kualitas pelayanan publik. Proses rekrutmen dan promosi ASN di tingkat daerah, termasuk Garut, kerap disusupi praktik nepotisme.

Individu yang memiliki kedekatan personal atau hubungan politik sering kali lebih diutamakan dibandingkan mereka yang memiliki kompetensi.

Praktik ini tidak hanya menurunkan standar profesionalitas birokrasi, tetapi juga membuka jalan bagi korupsi, kolusi, dan penyalahgunaan wewenang.

Akibatnya, pelayanan publik yang seharusnya menjadi prioritas justru terabaikan karena lebih berorientasi pada kepentingan politik penguasa.

Warisan budaya sentralistik dari era Orde Baru turut membayangi birokrasi di Garut. Orientasi birokrasi cenderung vertikal, mengutamakan kepentingan atasan dibandingkan kebutuhan masyarakat.

Fenomena paternalistik, praktik like and dislike, dan kolusi menjadi tantangan utama dalam menciptakan birokrasi yang bersih dan profesional.

Untuk menjawab tantangan ini, reformasi birokrasi di Kabupaten Garut harus menjadi prioritas.

Proses rekrutmen ASN perlu didasarkan pada prinsip transparansi dan kompetensi untuk meminimalkan nepotisme.

Sistem karier berbasis prestasi harus diterapkan agar promosi jabatan dilakukan secara objektif.

Regulasi yang melindungi ASN dari tekanan politik juga harus ditegakkan secara tegas. Selain itu, pengawasan independen perlu diperkuat untuk memastikan birokrasi tetap netral dan berfungsi sesuai tugas utamanya.

Dalam konteks Kabupaten Garut, menjaga netralitas birokrasi menjadi tantangan utama, terutama di masa awal kepemimpinan bupati baru.

Jika politisasi birokrasi tidak dikelola dengan baik, maka dampaknya akan merugikan masyarakat yang membutuhkan pelayanan publik yang berkualitas.

Oleh karena itu, komitmen semua pihak diperlukan untuk menciptakan birokrasi yang bersih, profesional, dan benar-benar melayani kebutuhan masyarakat di Kabupaten Garut. (*)

Rekomendasi

0 Komentar

Anda belum bisa berkomentar, Harap masuk terlebih dahulu.