Beranda Jaringan Korupsi Infrastruktur Daerah Merusak dari Dalam

Jaringan Korupsi Infrastruktur Daerah Merusak dari Dalam

Oleh, admin
1 hari yang lalu - waktu baca 2 menit
Ilustrasi. (Ruangrakyatgarut.com)

Ruangrakyatgarut.com - Pembangunan infrastruktur sering dianggap sebagai wajah kemajuan daerah.

Namun, di balik proyek-proyek jalan, jembatan, dan fasilitas publik lainnya, tidak sedikit yang dibangun di atas fondasi relasi korupsi yang sistemik.

Bukan semata praktik suap atau mark-up, tetapi hubungan kekuasaan yang saling menopang dan melindungi satu sama lain.

Dalam banyak kasus, kepala daerah memiliki kekuasaan penuh dalam menentukan arah proyek. Kepala dinas teknis berperan dalam mengatur proses formal seperti lelang, namun hasilnya telah ditentukan sebelumnya.

Perusahaan yang menjadi pelaksana bukanlah pihak yang benar-benar kompetitif, melainkan rekanan yang sudah menjalin kesepakatan, kadang milik kerabat atau tim sukses yang disamarkan. Komitmen fee menjadi syarat tak tertulis, dan laporan pelaksanaan bisa direkayasa sesuai kebutuhan.

Relasi semacam ini tidak berdiri sendiri. Ia melibatkan aktor-aktor legislatif daerah, pengawas internal, bahkan oknum aparat penegak hukum.

Semua saling menjaga posisi dan kepentingan. Inilah yang membedakan korupsi biasa dengan relasi korupsi: terjadi secara kolektif, mengakar, dan sulit diurai hanya dengan pendekatan hukum konvensional.

Relasi korupsi juga menciptakan ketidakadilan dalam akses proyek. Pelaku usaha yang jujur tersingkir karena enggan terlibat dalam permainan. Akibatnya, kualitas pekerjaan menurun, dan publik dirugikan secara langsung.

Jalan yang baru dibangun cepat rusak, bangunan rapuh, fasilitas tidak layak pakai. Masyarakat akhirnya menanggung biaya pembangunan dua kali: pertama melalui pajak, kedua melalui kerugian akibat hasil yang buruk.

Kepercayaan terhadap pemerintah juga ikut tergerus. Warga yang melihat proyek sebagai ajang pembagian keuntungan elite cenderung apatis.

Demokrasi lokal kehilangan makna ketika pengawasan publik dilemahkan, dan jabatan publik digunakan untuk mengatur rente kekuasaan, bukan melayani kepentingan rakyat.

Upaya memutus relasi korupsi menuntut langkah yang lebih dari sekadar penindakan. Dibutuhkan transparansi menyeluruh dalam proses perencanaan dan pengadaan.

Mekanisme pengawasan harus terbuka bagi publik, dengan audit berbasis risiko dan keterlibatan masyarakat. Relasi antara politik dan bisnis perlu dipisahkan secara jelas.

Reformasi birokrasi tidak akan efektif bila hanya menyasar individu, tanpa menyentuh struktur yang melanggengkan praktik menyimpang.

Relasi korupsi di sektor infrastruktur bukan hanya bentuk penyalahgunaan wewenang, tetapi perusakan sistemik terhadap tata kelola daerah.

Selama praktik ini dibiarkan, pembangunan hanya akan menghasilkan proyek-proyek yang tampak megah di luar, namun rapuh dan penuh kerugian di dalam. (*)

Rekomendasi

0 Komentar

Anda belum bisa berkomentar, Harap masuk terlebih dahulu.