Beranda Bangkitkan IPM Garut Lewat Revolusi Pendidikan, Layanan Kesehatan, dan Ekonomi Rakyat

Bangkitkan IPM Garut Lewat Revolusi Pendidikan, Layanan Kesehatan, dan Ekonomi Rakyat

Oleh, admin
9 jam yang lalu - waktu baca 4 menit
Ilmi Girindra

Oleh: Ilmi Girindra*

Kabupaten Garut menyimpan kekayaan sumber daya alam, kultural, dan manusia yang luar biasa.

Namun potensi itu belum sepenuhnya tercermin dalam pencapaian indikator pembangunan.

Salah satu ukuran utama untuk melihat kualitas hidup masyarakat adalah Indeks Pembangunan Manusia (IPM).

Sayangnya, Garut masih tertinggal dibandingkan kabupaten/kota lain di Jawa Barat, bahkan secara nasional.

IPM Garut berada pada level yang menunjukkan bahwa sebagian besar masyarakat masih kesulitan mengakses pendidikan berkualitas, layanan kesehatan yang merata, dan kesempatan ekonomi yang layak.

Padahal, IPM tidak hanya sekadar angka, melainkan cermin dari sejauh mana manusia diberi ruang untuk berkembang secara utuh—dari sejak ia lahir hingga tua, dari sekolah hingga dunia kerja.

Maka, bila ingin melihat Garut benar-benar bangkit, orientasi pembangunan harus bergeser.

Bukan lagi sekadar membangun jalan dan gedung, tetapi membangun manusia secara serius.

Inilah agenda besar yang seharusnya menjadi fokus pemerintah daerah, sektor pendidikan, organisasi masyarakat, serta pelaku ekonomi lokal.

Kita butuh sebuah revolusi kebijakan yang berani menempatkan manusia sebagai subjek pembangunan, bukan objek statistik.

Salah satu dimensi IPM adalah rata-rata lama sekolah dan harapan lama sekolah. Ini bukan soal membangun gedung SD atau SMK semata, tetapi tentang kemampuan sistem pendidikan kita dalam membawa masyarakat keluar dari lingkaran kemiskinan dan ketidakberdayaan.

Pendidikan seharusnya menjadi alat transformasi sosial. Sayangnya, banyak anak muda Garut masih terjebak dalam siklus pendidikan yang stagnan.

Drop-out SMA atau hanya menempuh pendidikan dasar menjadi hal lumrah, terutama di daerah pedesaan dan perbukitan.

Alasannya beragam: ekonomi keluarga, jarak sekolah, hingga minimnya motivasi dan dukungan lingkungan.

Solusi yang diperlukan bukan satu-dua program, tetapi sistem. Kita membutuhkan beasiswa afirmatif yang tidak hanya berbasis prestasi, tetapi keberpihakan pada kelompok rentan.

Pendidikan vokasi harus dikaitkan langsung dengan potensi ekonomi lokal: pertanian organik, wisata, teknologi digital, dan industri rumahan.

Kelas-kelas jarak jauh dan komunitas belajar berbasis desa perlu dikembangkan melalui kerja sama dengan kampus-kampus dan lembaga non-formal.

Lebih dari itu, peran guru harus direvitalisasi, bukan hanya sebagai pengajar kurikulum, tapi fasilitator perubahan.

Harapan hidup masyarakat Garut masih rendah karena dua faktor utama: kualitas layanan dan kesadaran hidup sehat.

Banyak masyarakat yang datang ke layanan kesehatan hanya ketika sakit parah, sementara upaya preventif seperti pemeriksaan rutin, gizi balita, dan kebersihan lingkungan belum menjadi budaya.

Padahal dalam indikator IPM, kesehatan sangat menentukan—terutama pada usia harapan hidup saat lahir. Maka pendekatan pembangunan kesehatan harus digeser dari kuratif ke preventif.

Pemerintah harus aktif membangun ekosistem kesehatan berbasis komunitas, mulai dari aktivasi kembali Posyandu dan kader kesehatan desa, pelatihan gizi keluarga secara door-to-door, hingga digitalisasi data kesehatan masyarakat berbasis RT atau dusun.

Sanitasi total berbasis masyarakat harus menjadi gerakan kolektif, bukan sekadar proyek infrastruktur satu kali.

Budaya hidup sehat juga perlu ditanamkan sejak dini melalui sekolah, pesantren, organisasi pemuda, dan komunitas lokal.

Jika kita bisa mencegah, maka beban biaya kuratif akan menurun drastis, dan kualitas hidup meningkat secara kolektif.

Komponen ketiga dari IPM adalah standar hidup layak, yang seringkali diukur melalui daya beli masyarakat.

Di Garut, mayoritas warga bekerja di sektor informal—petani, buruh, pedagang kecil, dan pekerja musiman.

Mereka rentan terhadap gejolak harga, inflasi, dan krisis. Di sinilah pentingnya kebijakan ekonomi yang berpihak pada penguatan ekonomi kerakyatan.

Bukan hanya sekadar pelatihan UMKM yang seremonial, tapi intervensi konkret seperti perluasan akses permodalan mikro melalui koperasi atau lembaga keuangan berbasis desa, digitalisasi UMKM dengan pendampingan langsung, dan pengembangan kawasan industri kecil.

Pemerintah juga harus mendorong integrasi sektor pertanian dengan industri pengolahan agar nilai tambah tetap berada di tangan warga Garut sendiri.

Kita juga harus membangun jembatan antara pendidikan dan dunia usaha lokal. SMK, komunitas pemuda, dan pesantren bisa menjadi basis pelaku ekonomi baru jika didukung sistem yang tepat.

Ekonomi rakyat adalah pondasi bagi daya tahan sosial dan kemandirian keluarga.

Pemerintah Kabupaten Garut tidak bisa sendirian dalam membangun manusia. Dibutuhkan sinergi lintas sektor—kampus, dunia usaha, komunitas, lembaga swadaya, dan media.

Pemerintah cukup menjadi katalisator dan fasilitator yang membuka ruang partisipasi.

Hal yang paling mendesak adalah menyusun roadmap peningkatan IPM Garut yang disusun secara kolaboratif, lintas dinas, dan lintas pemangku kepentingan.

Roadmap ini harus mencakup target kuantitatif, program terukur, peta wilayah prioritas, dan mekanisme evaluasi bersama.

Lebih penting lagi, evaluasi IPM harus dilakukan secara jujur dan terbuka, bukan hanya untuk menggugurkan kewajiban laporan.

Data bukan sekadar angka, tapi dasar kebijakan. Jangan sampai program pembangunan hanya jadi proyek tanpa dampak.

Indeks Pembangunan Manusia bukan sekadar angka statistik. Ia adalah wajah dari martabat masyarakat.

Jika IPM kita rendah, itu berarti kita belum memberikan kehidupan yang layak bagi warga kita sendiri.

Maka memperjuangkan peningkatan IPM adalah bagian dari perjuangan kemanusiaan.

Garut punya semua syarat untuk maju: sumber daya alam melimpah, kekayaan budaya, dan anak-anak muda yang cerdas.

Yang dibutuhkan hanyalah keberanian untuk memprioritaskan manusia di atas segalanya. Karena ketika manusia Garut berdaya, maka Garut akan benar-benar berdaulat. (*)

*Tulisan ini merupakan opini pribadi dan tidak mewakili lembaga manapun.

Rekomendasi

0 Komentar

Anda belum bisa berkomentar, Harap masuk terlebih dahulu.