Refleksi Dinamika Politik dan Birokrasi di Kabupaten Garut
Oleh: Diki Kurnia*
Politik dan birokrasi adalah dua sisi mata uang yang sulit dipisahkan. Dalam konteks pemerintahan daerah, keduanya memainkan peran penting, terutama melalui otonomi daerah yang diatur dalam UU No. 22/1999, yang kemudian diperbarui menjadi UU No. 32/2004 dan UU No. 23/2014.
Regulasi ini mendesentralisasi kewenangan kepada pemerintah daerah, termasuk pemilihan kepala daerah secara langsung oleh masyarakat.
Namun, hubungan antara politik dan birokrasi sering kali menghadirkan dilema. Di satu sisi, birokrasi sebagai pelaksana kebijakan politik dituntut untuk netral.
Di sisi lain, birokrasi kerap terlibat dalam penyusunan kebijakan, menciptakan situasi di mana netralitas menjadi sulit dipertahankan. Kondisi ini sering kali melahirkan pola hubungan patron-klien, yang disebut sebagai birokrasi patrimonial.
Hubungan ini menciptakan loyalitas berbasis pribadi antara pemimpin politik dan pejabat birokrasi, sering kali mengorbankan pelayanan publik.
Fenomena patronase dalam birokrasi Indonesia telah berlangsung lama. Menurut Anderson (1984), politik patron-klien mencirikan kehidupan politik Indonesia, yang cenderung berbasis relasi personal daripada aliran budaya atau solidaritas kelas.
Hal ini sering kali menciptakan frustrasi bagi birokrat karier yang tidak mau terlibat dalam politik praktis, sekaligus memperkuat klaim Karl Marx bahwa birokrasi tidak mungkin sepenuhnya netral.
Selain itu, warisan sistem sentralisasi orde baru turut membentuk budaya organisasi birokrasi yang lebih vertikal daripada horizontal.
Orientasi ini sering kali menyebabkan munculnya fenomena like and dislike, paternalistik, serta praktik KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme).
Bupati sebagai kepala pemerintahan daerah memiliki kewenangan dalam manajemen kepegawaian daerah, termasuk penempatan PNS dalam jabatan struktural.
Namun, proses rekrutmen yang tidak transparan, sering kali didominasi nepotisme, menjadi pintu awal terjadinya korupsi dan buruknya pelayanan publik.
Transparency International menyebut bahwa nepotisme dalam birokrasi merupakan salah satu faktor utama penyimpangan yang merusak roda pemerintahan.
Dalam konteks Kabupaten Garut, dinamika ini menjadi tantangan serius bagi birokrasi untuk memperbaiki kinerja dan memenuhi kebutuhan masyarakat.
Pelayanan publik yang optimal hanya dapat dicapai melalui birokrasi yang profesional, netral, dan berfokus pada kepentingan rakyat. (*)
*Penulis adalah pengamat kebijakan publik, tinggal di Garut
0 Komentar
Anda belum bisa berkomentar, Harap masuk terlebih dahulu.