Swasembada Pangan: Solusi Radikal untuk Gizi Gratis dan Ekonomi Lokal menuju Kedaulatan Indonesia"
Oleh: Galih F.Qurbany*
Apakah kita rela, sebagai bangsa yang dikenal dunia sebagai negara agraris, justru bergantung pada beras impor untuk mengisi perut rakyat kita? Apakah kita tidak merasa tersentil ketika melihat data yang menunjukkan Indonesia mengimpor 3,06 juta ton beras pada 2023, jumlah terbesar dalam lima tahun terakhir? Padahal, kita punya tanah subur yang membentang dari Sabang hingga Merauke. Apakah ini bukan tamparan keras bagi kita semua?
Inilah kenyataan pahit yang kita hadapi. Tanah kita melimpah, tapi lahan pertanian terus tergerus oleh beton-beton industri dan perumahan. Petani kita bekerja keras, tetapi mereka dihantam permainan mafia pangan yang dengan liciknya mengatur harga pasar. Sementara itu, pemerintah terdahulu sibuk mengandalkan impor, seolah-olah bangsa ini tak mampu menanam makanan untuk dirinya sendiri.
Saat ini, kita berada di persimpangan jalan. Apakah kita akan terus menyerah pada kebijakan impor yang merugikan petani, atau kita bangkit untuk kembali menjadi bangsa yang mandiri dan berdaulat? Di sinilah kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto menjadi kunci. Dengan tekadnya, beliau tidak hanya ingin menghentikan impor, tetapi juga menciptakan lompatan besar menuju swasembada pangan.
Prabowo telah berjanji untuk memperluas tiga juta hektar lahan pertanian dalam lima tahun ke depan. Tidak hanya itu, anggaran ketahanan pangan dinaikkan menjadi Rp139,4 triliun pada 2025. Ini bukan sekadar janji politik—ini adalah perang melawan ketergantungan yang telah mencengkeram negeri ini selama bertahun-tahun. Jika ini berhasil, kita tidak hanya akan mengakhiri ketergantungan pada beras impor, tetapi juga mengangkat jutaan petani dari kemiskinan.
Namun, perjuangan ini membutuhkan lebih dari sekadar janji pemerintah. Ini adalah perang kita semua sebagai bangsa. Mafia pangan harus dihancurkan, dan kita membutuhkan kebijakan yang tegas untuk memastikan impor hanya dilakukan jika benar-benar darurat. Teknologi modern harus segera masuk ke ladang-ladang petani, dari drone pemantau lahan hingga sensor tanah yang membantu petani menghadapi cuaca ekstrem.
Swasembada pangan juga memiliki hubungan yang erat dengan program makan gizi gratis yang dapat diterapkan di sekolah-sekolah dan komunitas masyarakat miskin. Program ini tidak hanya bertujuan untuk mengatasi masalah stunting dan kekurangan gizi, tetapi juga menciptakan efek berantai yang luar biasa.
Dengan memanfaatkan hasil pertanian lokal untuk kebutuhan program makan gizi gratis, pemerintah dapat menciptakan pasar yang stabil bagi petani lokal. Bayangkan petani lokal yang menjual beras, sayur, telur, dan daging kepada pemerintah untuk program ini. Pendapatan mereka akan meningkat, perputaran ekonomi lokal akan lebih hidup, dan konsumsi pangan yang sehat akan menjadi budaya di masyarakat.
Teori kemandirian pangan, yang dipopulerkan oleh Amartya Sen, seorang ekonom pemenang Nobel, menyatakan bahwa swasembada pangan bukan sekadar kemampuan memproduksi cukup pangan untuk kebutuhan nasional, tetapi juga memastikan akses yang merata bagi seluruh masyarakat. Sen menekankan bahwa ketahanan pangan yang sejati terjadi ketika seluruh rakyat memiliki akses terhadap pangan yang layak, baik dari segi jumlah maupun kualitas, tanpa tergantung pada mekanisme pasar global yang tidak stabil.
Bayangkan jika kita berhasil. Harga pangan akan stabil. Petani kita akan tersenyum karena hasil kerja keras mereka dihargai. Desa-desa akan kembali hidup dengan lapangan kerja baru. Anak-anak petani akan bangga melanjutkan profesi orang tua mereka, bukan lagi memimpikan bekerja di kota sebagai buruh pabrik. Dan yang paling penting, kita tidak lagi harus tunduk pada permainan global yang sering menjadikan ketergantungan pangan sebagai alat politik.
Lebih jauh lagi, program makan gizi gratis akan menjadi solusi bagi masalah kesehatan dan pendidikan di Indonesia. Anak-anak dengan gizi baik akan lebih fokus belajar, lebih sehat, dan memiliki masa depan yang lebih cerah. Dengan memperkuat produksi pangan lokal, program ini juga akan mendorong inovasi di sektor pertanian, seperti diversifikasi produk, peningkatan kualitas hasil tani, dan pelibatan generasi muda dalam teknologi agrikultur.
Ini bukan sekadar mimpi. Amartya Sen mengajarkan bahwa negara yang mampu memenuhi kebutuhan pangannya sendiri akan lebih tangguh menghadapi guncangan global. Swasembada pangan bukan hanya soal nasi di piring kita; ini adalah simbol harga diri bangsa. Ini adalah pertarungan hidup dan mati untuk kedaulatan Indonesia.
Jadi, apakah kita akan diam saja, atau kita bergerak bersama untuk mendukung langkah ini? Petani kita butuh dukungan, bukan hanya dari pemerintah, tetapi juga dari kita sebagai rakyat. Saatnya kita berhenti membiarkan tanah subur ini menjadi lahan tidur. Saatnya kita membuktikan bahwa bangsa ini masih punya nyali untuk berdiri di atas kaki sendiri.
Indonesia bisa, jika kita mau. Swasembada pangan bukan sekadar cita-cita—ini adalah kewajiban kita sebagai bangsa yang merdeka. Jangan biarkan peluang ini berlalu begitu saja. Kita harus bertindak sekarang, demi masa depan yang lebih cerah dan sejahtera. (*)
*Penulis adalah Wakil Ketua Kamar Dagang dan Industri (KADIN) Kabupaten Garut
0 Komentar
Anda belum bisa berkomentar, Harap masuk terlebih dahulu.