Menyoroti Perjanjian Kerja Sama Pembuangan Sampah Bandung ke Garut: Siapa yang Diuntungkan?
Ruangrakyatgarut.com - Perjanjian kerja sama antara pemerintah Kota Bandung dan Kabupaten Garut terkait pembuangan sampah menjadi sorotan tajam di kalangan masyarakat dan pemerhati lingkungan.
Kerja sama ini, yang memungkinkan Garut dijadikan tempat pembuangan sampah dari Bandung, menuai kritik keras karena dianggap lebih banyak merugikan daripada menguntungkan.
Dari informasi yang beredar, perjanjian ini disebut-sebut tidak melibatkan partisipasi masyarakat Garut, bahkan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Garut pun merasa tidak pernah diajak berdiskusi.
Transparansi dalam proses perjanjian ini dipertanyakan, sehingga memunculkan spekulasi bahwa keputusan tersebut hanya menguntungkan segelintir pihak.
Setiap harinya, 230 ton sampah dari Kota Bandung dikirim ke Garut berdasarkan kerja sama ini. Dampak yang dikhawatirkan meliputi pencemaran lingkungan, ancaman kesehatan masyarakat, serta rusaknya citra Garut sebagai salah satu daerah dengan potensi wisata alam yang besar.
Dampak Ekologis yang Mengkhawatirkan
Pembuangan sampah dalam jumlah besar ke Garut dinilai tidak sejalan dengan prinsip keberlanjutan. Pemerhati lingkungan, Tedi Sutardi, mengingatkan bahwa sampah dalam skala besar ini dapat mencemari tanah, air, dan udara di Garut. “Sampah organik maupun non-organik yang tidak dikelola dengan benar akan menciptakan efek domino berupa pencemaran lingkungan yang sulit dipulihkan,” ujarnya.
Kondisi ini diperburuk dengan minimnya fasilitas pengelolaan sampah yang memadai di Garut. Alih-alih menjadi solusi, kerja sama ini justru berisiko menjadikan Garut sebagai “korban” dari buruknya pengelolaan sampah Kota Bandung.
Keputusan Tanpa Partisipasi Publik
Tokoh masyarakat Garut, Ade Sudrajat, menyatakan bahwa masyarakat merasa dikhianati oleh pemerintah daerahnya sendiri. “Tidak ada konsultasi publik atau musyawarah sebelumnya. Masyarakat hanya diberi tahu setelah perjanjian sudah disiapkan, dan itu jelas melukai rasa keadilan,” tegas Ade.
Pendapat serupa disampaikan oleh Ketua Gerakan Masyarakat Bawah Indonesia (GMBI), Ganda Permana, SH. Ia menilai bahwa perjanjian ini adalah bentuk pengabaian terhadap prinsip tata kelola pemerintahan yang baik. “Setiap keputusan yang berdampak besar, apalagi soal lingkungan, harus melibatkan masyarakat. Ini bukan soal untung-rugi finansial semata, tetapi juga menyangkut masa depan warga Garut,” ungkap Ganda.
Siapa yang Diuntungkan?
Banyak pihak mempertanyakan siapa yang sebenarnya diuntungkan dari perjanjian ini. Pemerintah Kota Bandung jelas mendapatkan manfaat berupa solusi untuk masalah sampahnya, tetapi Garut justru harus menanggung dampaknya.
Menurut Indra Kurniawan, SH, seorang pemerhati hukum, kerja sama ini berpotensi melanggar asas keadilan. “Jika pemerintah Garut hanya menerima kompensasi tanpa ada rencana jelas untuk pengelolaan sampah dan perlindungan lingkungan, maka ini adalah keputusan yang sangat sepihak. Dalam hukum, masyarakat berhak menolak kebijakan yang merugikan kepentingan mereka,” tegasnya.
Desakan Evaluasi Perjanjian
Masyarakat dan berbagai elemen mendesak agar perjanjian ini dievaluasi ulang atau bahkan dibatalkan. Mereka meminta pemerintah Kota Bandung untuk mencari solusi lain yang lebih ramah lingkungan, seperti penerapan teknologi pengelolaan sampah modern atau pengurangan produksi sampah sejak awal.
Selain itu, pemerintah Kabupaten Garut diminta lebih tegas dalam memperjuangkan hak-hak warganya. Masyarakat berhak atas lingkungan yang bersih dan sehat, sesuai dengan amanat Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Perjanjian kerja sama pembuangan sampah dari Bandung ke Garut bukan hanya soal administrasi dan kompensasi, tetapi menyangkut keberlanjutan lingkungan dan kualitas hidup masyarakat Garut. Keputusan sepenting ini seharusnya dibuat dengan mempertimbangkan masukan masyarakat, transparansi, dan prinsip keadilan.
Garut tidak boleh menjadi “tempat buangan” dari buruknya pengelolaan sampah Kota Bandung. Pemerintah harus mencari solusi jangka panjang yang adil bagi semua pihak, tanpa mengorbankan daerah lain. Transparansi, akuntabilitas, dan keberlanjutan harus menjadi landasan utama dalam setiap kebijakan yang dibuat. (*)
0 Komentar
Anda belum bisa berkomentar, Harap masuk terlebih dahulu.